Cerita Pilu Korban Khmer Merah

Ini cerita gua sewaktu berkunjung di Phnom Penh. Bukan dalam rangka backpacking, tapi lagi business trip (Aseeek). Nah, gua nginepnya di salah satu Serviced Apartemen mevvah, proyeknya kantor gua. Mayaan, kapan lagi orang kayak gua bisa menikmati hotel bagus. Ini review hotelnya. Nah, hotel tempat gua nginap ini, didirikan oleh satu grup dokter (owner sampe kontraktornya dokter semua!), berusia sekitar 40-60-an tahun.

Salah satu kontraktornya, Mr. Pech (nama beken doi, yang artinya berlian) ngajak gua dan kolega dinner di salah satu resto khas Khmer. Di sini, beliau bercerita mengenai Kamboja. Hingga cerita tentang Khmer Rogue atau Kmher merah. 


Jadi, dulu, Norodom Shihanouk, raja sekaligus PM Kamboja, mempunyai mimpi untuk memajukan Kamboja. Beliau dulu berteman dengan Lee Kuan Yew, PM Singapur pertama. Mereka sama-sama bermimpi untuk bangun kotanya masing-masing menjadi maju. Termasuk dalam perencanaan tata kota. Makanya, tata kota Phnom Penh cukup rapih.

Lalu, tahun 50-an, oleh pemerintah Kamboja, Norodom Shihanouk (raja sekaligus PM Kamboja) mengirim putra-putri terbaik mereka untuk studi di luar negeri. Tujuannya, agar setelah selesai belajar, mereka balik ke Kamboja dan mengembangkan negeri ini. Rencana ini cukup berhasil, mengingat tahun 60-an, Kamboja menjadi salah satu negara maju di wilayah Asia Tenggara.

Kamboja menjadi produsen bus dan traktor, hingga skala ekspor! Di mana-mana sudah dibangun pabrik-pabrik gede. Kamboja sudah siap untuk langkah selanjutnya; produksi motor sendiri. Tiba-tiba, tahun '70, pemerintahan yang sah dikudeta oleh Khmer Merah. Jeng-jeeeng. Semua rencana untuk memajukan Kamboja dipukul mundur hingga titik nol oleh Khmer Merah ini.

Pernah masuk ke museum genosida? Atau pernah dengar genosida oleh Khmer Merah? DI Indonesia, hampir di saat yang bersamaan, juga pernah ada genosida PKI. Tapi kekejaman Khmer Merah, levelnya jauh di atas. Mereka penganut sosialis sejati. Yang namanya sosialis, artinya keadilan bagi semua, tanpa pandang bulu. Dan mereka mempratekkan gerakan sosialis apa adanya.

Bayangin, semua rakyat Kamboja, diharuskan berpakaian yang sama. Semua wajib pakai pakaian ala petani, berwarna hitam dan bercaping. SEMUA. Karena mereka mau mereformasi Kamboja menjadi negara agraris. Semua diharuskan bertani. 

Jam malam diberlakukan. Ga ada listrik buat semua. Jadi bagi yang punya rumah, terpaksa pakai lampu minyak. Untuk makan, semua dijatah. Ada pembagian makanan. Dan karena keadilan bagi semua, maka baik perempuan maupun anak kecil, porsinya sama dengan laki-laki dewasa. Bagus kalo porsi laki-laki dewasanya gede, ini mah, kecil. Kalau ketahuan ngasi lebih (misal seorang ayah ngasih porsinya ke anaknya) bisa dihukum.

Itu baru awal. Semua rakyat ga boleh memakai perhiasan dan menyimpan harta benda. Jadi, mereka wajib ngasi harta dan perhiasan ke pemerintah. Sampai ada yang diam-diam nguburin hartanya di dalam rumah. Lama-lama, rumah pun di sita, gak boleh punya ceunah. Asa nu gelo, semuanya dipaksa tidur di atas tanah, pakai tenda-tenda. 

Salah satu idealisme Khmer Merah adalah, anti barat. Makanya mereka mengisolasikan diri dari politik internasional. Dan mulailah genosida. Karena tahun-tahun sebelumnya banyak yang dikirim ke luar negeri untuk belajar, maka merekalah yang pertama dibasmi. Lama-lama, target pembasmian mulai menggila. Siapa yang kelihatan pintar, misalnya berkacamata, langsung dibasmi. Yang bekerja sebagai dokter dan engineer juga menjadi target pembasmian. 

Belum selesai. Mereka menganggap, generasi lama telah terjangkiti virus dari barat. Jadi generasi lama wajib dibasmi, dan membesarkan generasi baru agar terbebas dari paham barat. Salah satu caranya, mem-brainwash anak-anak bahwa paham barat itu jahat, dan generasi orang tua mereka akhirnya menjadi jahat karena telah terinveksi paham barat. Ujung-ujungnya, anak-anak kecil itu diajarin untuk bunuh orang tua mereka! Ini baru sadis!

Beliau dan rekan-rekannya juga sempat dicuci otaknya, sampai diajarin membunuh. Tapi untung mereka berhasil kabur. Malah sekarang jadi dokter. 

Sayangnya, cerita terhenti sampai di sini karena udah malam dan saatnya balik. Dan gua ga sempat dapat waktu yang tepat untuk meminta beliau ngelanjutin ceritanya. Makanya gua penasaran mau ke museumnya. 

Cerita ini merupakan flashback gua selama mengunjungi Phnom Penh. Waktu itu karena bisnis trip, jadi kurang enjoy dengan kota Phnom Penh. Kurang banyak eksplor, makanya next backpacking gua, pengen ke Phnom Penh dan museum genosida ini menjadi salah satu destinasi gua. Selain itu, gua udah nulis juga hal-hal yang perlu diketahui tentang Phnom Penh di sini, sebagai info untuk kalian yang baca, maupun sebagai reminder gua.

Update; Tahun 2017 akhirnya gw mampir ke Genocide museumnya. Liatin foto2 korban, dengerin ceritanya, sedih bangeeet!

Comments

Popular posts from this blog

Dummy Booking For Flight Ticket

Menyusun Itinerary Perjalanan & Budgeting dengan Google Maps

Pengalaman Tidur di Bandara Haneda, Tokyo

Day 18; Mengurus Surat Kehilangan di KBRI Thailand

Pengalaman Diganggu Ladyboy di Bangkok