Phom Penh, 10 Informasi yang Perlu Kamu Ketahui
Ini cerita gua sewaktu berkunjung di Phnom Penh. Bukan dalam rangka backpacking, tapi lagi business trip (Aseeek). Nah, gua nginepnya di salah satu Serviced Apartemen mevvah, proyeknya kantor gua. Mayaan, kapan lagi orang kayak gua bisa menikmati hotel bagus. Ini review hotelnya.
Selama seminggu di sana, gua merhatiin banyak hal mengenai kebudayaan orang Kamboja dan kota Phnom Penh itu sendiri.
1. Setiap Makanan Rasanya Sama
Yep, mau itu nasi, sup, hingga sushi, semuanya memakai bumbu yang sama. Baunya seperti basil, bentuknya kayak paku kecil-kecil berwarna hijau. Gua nanya ke orang lokal, katanya itu lemongrass, biasa tumbuh di belakang rumah mereka. Tapi kayaknya mah, lemongrass ga gini baunya. Gua pikir basil, tapi ampe sekarang, gua belum nemu jawaban yang memuaskan tentang bau misterius ini. Yang jelas, baunya ga pernah gua lupain.
Baunya itu kayak bebauan daun segar, ada sedikit mintnya. Kalau porsi dikit, ga masalah. Tapi ini kayaknya kebanyakan deh ngasihnya. Jadi mengganggu rasa asli masakannya, dan ada di hampir semua masakan! Bayangin, dari nasi putih, wanginya aja udah berbau itu. Pas dimakan, makin kerasa baunya.
Ini sushi ala Khmer, kata orang lokanya. Tapi sebenarnya mah, lumpia cuma ga digoreng aja. Sumber foto dari sini |
Hidangan sup, apapun itu, wanginya juga udah kecium. Nyobain hidangan ikan masak, wangi yang sama tetap tercium. Bahkan sushi a la khmer, di dalamnya tetap pakai daun ini. Gila ga lu, di hampir tiap masakan, di hampir tiap restoran maupun streetfood yang gua nyobain, rasanya sama semua, gegara daun kecil ini? Paling yang ga pake daun ini cuma hidangan bakar-bakaran. Tapi tetep, sausnya cocolannya ada daun ini juga. Haaah, gila gua!
2. Seluruh Kota Serasa di Kota Tua Jakarta
Bagi yang pernah maen ke Kota Tua Jakarta, keadaan Phnom Penh kayak begini, di seluruh penjuru kota. Bangunannya, banyak berupa ruko-ruko yang seperti terbengkalai, tapi masi ada penghuninya. Trotoar di beberapa area lebar-lebar. Jalanan di seluruh kota, lebar banget! Itu di tengah kota, apalagi bangunan-bangunan dekat Tonle Sap River, pusat turis.
Jarang ada gedung tinggi di sini. Kalau lihat list high rise building di Phnom Penh saat ini (list tahun 2015), menurut Wikipedia, cuma ada 5 bangunan! Paling tinggi cuma 38 lantai. Mallnya, semacam ITC aja sih. Kecuali AEON Mall yang dibangun belakangan dan lebih duluan dibanding Indonesia. Walaupun begitu, kota ini terbilang rapih dari segi penataan kotanya. Ternyata raja Kamboja dulu teman dekat dengan Lee Kuan Yew, PM Singapur pertama. Mereka sama-sama bermimpi untuk bangun kotanya masing-masing menjadi maju. Termasuk dalam perencanaan tata kota. Makanya, tata kota Phnom Penh cukup rapih.
Kalau kata orang lokalnya yang pernah maen ke Jakarta, Phnom Penh tuh tertinggal 30 tahun di belakang Jakarta. Padahal tahun 60-an, Phnom Penh maju banget. Sempat menjadi kota industri termaju di bilangan Asia Tenggara. Mereka menjadi produsen bus dan traktor hingga berskala export. Bahkan udah mau produksi motor sendiri, kemudian Pol Pot dan Khmer Rogue berkuasa. Semua kemajuan mereka langsung dipukul mundur jadi nol. Akibatnya, sampai sekarang mereka tertinggal di belakang Singapur, Malaysia, Thailand dan Indonesia.
3. Panas Banget!
Yeah, meskipun jalanannya lebar-lebar, tapi terik banget! Jarang ada pepohonan rindang buat neduh. Itu di daerah pusat kota. Kalau jalan ke rural area, jalanannya makin kecil, dan makin panas. Proyek gua waktu itu di Grand Phnom Penh International City, developernya dari Indonesia. Letaknya 30 menit dari pusat kota. Tiap pagi dan siang, jalanannya disiram air biar ga panas banget. Rata-rata suhunya sekitar 22-35 derajad! Kurang lebih sama sih, ama di Indonesia, tapi lebih gerah.
4. Khmer Ladies are Pretty
Bayangin, gadis-gadis panlok (panda lokal, no offense) yang ada di Kelapa Gading. Di Phnom Penh, isinya begitu semua penampakannya! Kulit putih, rambut lurus panjang (rata-rata yang gua lihat, sepunggung) kadang di cat, wajah mungil bening. Dan mereka gemar banget pake rok mini, untuk yang baju kerja, atau pelayan restoran. Atau tank top kalau di rumah atau ke pasar. Jadi, meskipun iklimnya panas, hati tetap adem bisa lihat gadis-gadis geulis XD
5. Berhubungan Sejarah dengan Indonesia
Lebih tepatnya, berhubungan sejarah dengan Majapahit. Daerah Kamboja merupakan salah satu wilayah di luar Indonesia saat ini yang dijuluki Nusantara. Mereka tunduk ke raja Majapahit. Saat itu dikenal dengan daerah Champa, yang mayoritas muslim. Bahkan salah satu putri mereka, Dewi Anarawati, dikirim ke Jawa untuk dijadikan selir oleh raja Prabhu Brawijaya. Anak dari iparnya, menjadi Sunan Ampel, dan mendirikan pesantren pertama di Nusantara. Salah satu anaknya Dewi Anarawati, Raden Patah atau Sunan Giri, juga menjadi salah satu penyebar Islam di Jawa dan penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Penyebabnya, karena Sunan Giri mau mendirikan kekhalifahan Islam, sementara kerajaan Majapahit beraliran Shiva Buddha.
Jauh sebelumnya, sebelum kerajaan kerajaan Khmer beridiri dan kerajaan Sriwijaya di Jawa dan Sumatra sedang naik daun, Jayavarman II (atau Jayawarman di Indonesia) menuntut ilmu di Jawa. Balik ke Angkor, beliau mendirikan kerajaam Khmer. Tidak heran kalau Angkor Wat memiliki kemiripan dengan candi-candi di Jawa. Salah satu nama jalan di Phnom Penh, bernama Jayavarman.
Bahkan ada kemungkinan kalau Indonesia dan Kamboja berasal dari satu rumpun. Berasal dari kebudayaan Dongson yang tersebar di wilayah Asia Tenggara sekitar 1000~1 SM. Teori lainnya, dikenal dengan teori Yunnan, bahwa nenek moyang kita berasal dari Yunnan, Cina. Mereka kemudian bermigrasi ke selatan, melewati Kamboja, hingga akhirnya menetap di wilayah Indonesia. Yaah, itu teorinya sih. Bukan wilayah gua untuk membahasnya secara detail.
6. Banyak Muslim
Buat yang muslim kayak gua, jangan khawatir. Meski tetap minoritas, jumlah muslim di Phnom Penh tetap banyak. Tadi udah gua sebutin, di masa kerajaan Majapahit di bawah Prabhu Brawijaya (sekitar tahun 1453 M), di Kamboja sudah terdapat kerajaan Champa yang beragama Islam dan turut andil dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Meski sekarang orang Kamboja mayoritas beragama Buddha, namun sisa-sisa kerajaan Champa masih ada. Kini mereka menjadi komunitas Champa (Cham, dalam bahasa lokal), dan merupakan komunitas muslim terbesar di Kamboja. Selain itu, ada komunitas muslim Chia. Makanya, terdapat beberapa resto halal di Phnom Penh, meski ga banyak.
Mesjid di Phnom Penh juga ada. Yang besar dan yang utama, Al-Serkal Mosque. Gua sempat sholat di salah satu mesjid kecil di wilayah rural Phnom Penh. Bentuknya sama dengan yang di Indoensia; lepas sepatu / sendal di depan, wudhu di tempat khusus yang terpisah dari bangunan utama, lalu sholat di bangunan utama, dengan pintu yang besar. Adem banget, dengan angin berhembus dari pintu ke pintu. Di belakang mesjidnya terdapat komunitas muslim. Mereka fasih berbahasa Melayu.
7. Bayar Pakai Dollar
Menurut gua, orang Kamboja pinter. Mereka menerima duit dollar untuk belanja sehari-hari, mau di mall, restoran maupun pasar. USD1 setara dengan KHR4.000. Gua beli mangga di pasar, pake USD, dikembaliin pake duit Riel. Kenapa pinter? Karena kurs Dollar lebih dari 4.000 Riel. Kalau pecahan kecil ga kerasa, tapi kalau pecahan gede? Kan untung di mereka.
*dasar otak kere, ga mau rugi! Hahhaaa
8. Harga Makan dan Minum
Untuk sekali makan, dari $2.50~7.00 atau sekitar KHR10.000~30.000. Untuk minuman botol, sekitar KHR2.000~4.000. Makanan dan minuman ini harganya tergantung di mana belinya. Untuk convenience store, cukup banyak, meski kebanyakan gua ga tau brand apa.
9. Penginapan
Waktu itu, karena bistrip, jadin nginepnya di Hotel bagus (dan bagus banget! Baca Review nya di sini). Tapi gua sempat jalan-jalan, sekalian nanya-nanya harga hotel di beberapa tempat. Rata-rata $10-20-an dollar per malam, atau sekitar IDR 100.000-200.000-an.
Tapi kalau cek lagi di internet sekarang, ada juga beberapa yang di bawah IDR 100.000, dan masuk top ten best hostel list di Trip Advisor. Bahkan temen gua yang pernah backpacking di Phnom Penh, dapatnya cuma $5 per malam.
10. Pasar (Phsar)
Buat backpacker, ga lengkap kalau ga mampir ke pasar. Karena di pasar lah, kita bisa melihat local culture yang sebenarnya. Mencoba masakan khas lokal, hingga kerajinan lokal. Di Phnom Penh sendiri, jarang terdapat mall. Yang paling terkenal paling Sorya Shopping Mall, karena terletak di pusat kota. Selain itu, AEON Mall, karena baru dan gede.
Tapi kalau pasar, ada tiga yang terkenal. Pertama, Central Market (Pshar Thmei). Bentuk gedungnya unik, dengan dome (kubah) dan empat sayap dengan style Art Deco, karya arsitek lokal, Vann Molyvan (namanya berulang kayak Sunda, tapi kedengaran kayak Russia, but trust me, he is Cambodian!). Buka tiap hari dari jam 07.00~17.00. Di depan gedungnya, banyak juga lapak-lapak yang jualan.
Di depan Central Market, di malam hari. |
Yang kedua adalah Russian Market (Phsar Toul Tom Poung) yang katanya dulu banyak turis dari Russia mampir ke sini. Buka tiap hari dari jam 07.00~17.00. Ketiga, Night Market (Phsar Reathrey) di Riverside, semacam Chatuchak Market di Bangkok, tapi bukanya cuma malam hari, dari 17.00~midnight.
BONUS
Penduduk Phnom Penh, ataupun se Kamboja, yang berusia 40-an ke atas merupakan saksi hidup tragedi genosida Khmer Merah. Gua diceritain salah satu korbannya. Cukup shock juga dengarnya. Kejam banget. Gua ga ceritain detailnya di sini, karena mungkin ga semua orang cukup woles buat denger/baca. Kalau mau tau detailnya, klik ke sini.
Update. Tahun 2017, akhirnya gw mampir ke Genocide museumnya. Lihat foto2 korban dan dengerin ceritanya bikin merinding!
Info lainnya, di Phnom Penh rata-rata mobilnya Lexus. Jarang ada merk lain. Hahaa, ga penting yah, infonya.
Kira-kira begitulah hasil pengamatan & pengalaman gua selama di Phnom Penh. Mungkin ada yang berbeda pendapat dan pengalaman, monggo di comment ya. Harus gua akui, pengalaman waktu itu kebanyakan bukan karena explore ala backpacker, tapi karena bisnis trip seminggu di sana. Meski beberapa kali nyelinap ke luar di malam hari, untuk ngerasain pengalaman lokal, tapi nightlife di Phnom Penh selain bar dan pub dan streetfood, kurang banyak yang bisa di explore. Makanya fotonya minim.
Tulisan ini gua buat, sebagai informasi buat gua juga. Meski udah pernah ke sana, dan ga begitu tekesan, tapi ampe sekarang gua masih penasaran ama kota ini. Makanya, bulan september nanti gua rencana mau backpacking lagi sebulanan, dan Phnom Penh masuk salah satu list gua.
Have a nice travelling, mates :)
UPDATE: sekarang gua udah beberapa kali ke Phnom Penh (4x lebih tepatnya). Selama di sini, banyak hal yang membuka mata gw tentang kota ini dan pada akhirnya gw sedikit betah tinggal di sini. Apa aja tuh? Ngapain aja gw ke sini mulu, padahal first impression gw tentang kota ini ga bagus? Well, stay tuned!
Info lainnya, di Phnom Penh rata-rata mobilnya Lexus. Jarang ada merk lain. Hahaa, ga penting yah, infonya.
Kira-kira begitulah hasil pengamatan & pengalaman gua selama di Phnom Penh. Mungkin ada yang berbeda pendapat dan pengalaman, monggo di comment ya. Harus gua akui, pengalaman waktu itu kebanyakan bukan karena explore ala backpacker, tapi karena bisnis trip seminggu di sana. Meski beberapa kali nyelinap ke luar di malam hari, untuk ngerasain pengalaman lokal, tapi nightlife di Phnom Penh selain bar dan pub dan streetfood, kurang banyak yang bisa di explore. Makanya fotonya minim.
Tulisan ini gua buat, sebagai informasi buat gua juga. Meski udah pernah ke sana, dan ga begitu tekesan, tapi ampe sekarang gua masih penasaran ama kota ini. Makanya, bulan september nanti gua rencana mau backpacking lagi sebulanan, dan Phnom Penh masuk salah satu list gua.
Have a nice travelling, mates :)
UPDATE: sekarang gua udah beberapa kali ke Phnom Penh (4x lebih tepatnya). Selama di sini, banyak hal yang membuka mata gw tentang kota ini dan pada akhirnya gw sedikit betah tinggal di sini. Apa aja tuh? Ngapain aja gw ke sini mulu, padahal first impression gw tentang kota ini ga bagus? Well, stay tuned!
Comments
Post a Comment